Putra Parahyangan

Ini adalah cerita yang lupaaa mulu gue tulis.

Pelajaran yang harus diambil: berpikirlah dahulu sebelum bertindak, bertanyalah dahulu sebelum memesan.

Ceritanya bermula dari gue dan Dila sedang ngaji GP (Generasi Penerus – Azikk..). Kami waktu itu pulang agak lama karena Ditya, mantannya adek gue, Meidya, lagi mau bikin surprise di hari ulang tahunnya. Waktu itu Meidya pernah bilang (sama Dila) saat mendengarkan lagunya Rick Price yang Now and Forever (I Will be Your Man). Memang, lagu itu romantis2 gitu lah kata-katanya. Meidya bialng, “Kalo ada cowok nyanyiin gue lagu ini, gila gue bakal luluh kali.”

Nnnaaaahh.. jadilah dibuat perjanjian antara Dila dan Ditya yang juga membawa-bawa nama gue. Ceritanya Dila disuru ngegitar untuk ngiringin Ditya nyanyi. Nah biar bagus, gitarnya dua orang, biar melodi di gue, Dila di rythm.. Kan bisa jadi oke tuh. Namun apa daya gitar gue dengan sembarangnya ditaroh di gudang, lalu gudang pun kena bocoran lantai atasnya yang merupakan kamar mandi, dan bocoran itu menimpa gitar gue sekian lama gue juga gak tau sehingga tu gitar jadi meleot.. Huff gitarku yang malang.

Yak. Balik ke cerita. Jadi, akhirnya cuma Dila yang bawa gitar dan mengiringi, sementara gue jadi penghibur. Malam itu adalah malam terakhir latihan. Karena dilakukan seusai ngaji GP, di situpun masih tersisa gue, Dila, Ditya, dan Ade. Gue sok-sokan jadi pelatih vocal biar ga nyampah banget (abisnya Ditya pitch controlnya ga bagus sih haha – apaan sih pitch control?)

Latihan pun selesai menjelang tengah malam. Perut kami semua mulai kelaparan. Kalo di kutek sih enak, tempat makan kalong buka di mana-mana. Di Pamulang, susah banget nyari tempat kayak gitu, bahkan sekedar sejenis tempat roti bakar-mie-ovaltine pun jarang. Nah sebab kami tidak tahu tempatnya di mana, kami menanyakan pada Ade. Ade bilang, yang paling deket itu adanya di depan Kompleks Pamulang Permai. Berhubung sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu (atau ingin mengantar? Atau juga lapar? Hahaha), dia juga ikutan.

Sampailah kami di sebuah warung tenda bernama Putra Parahyangan. Warung  itu ramai di dini hari itu. Mungkin cuma itu warung yang menyediakan makanan bagi kalong-kalong nocturnal seperti kami haha. Dari spanduknya, terlihat jualannya juga sama seperti yang dimiliki Kantin Biru atau Kantin Kenanga di Kutek: seputar roti bakar dengan segala pilihan isi, mie dengan segala rasa, ovaltine, susu, stmj, dan sejenisnya. Maka, otak gue yang sudah kekurangan nutrisi untuk berpikir itu langsung beranggapan bahwa Putra Parahyangan ini sama persis tak berbeda dengan Kantin Biru.

Pada waktu itu emang gue dan Dila nekat. Gue Cuma punya 10 ribu bullet-bulet ga ada lebih. Dila Cuma unya 8 ribu. Tadinya itu buat beli kebab, seperti yang biasa kami lakukan sepulang ngaji GP. Tapi udah tengah malem gini mana ada kebab yang buka. Dalam pikiran gue, di warung tenda kayak gini cukuplah uang kami berdua..

Akhirnya gue memesan roti bakar coklat keju dengan ovaltine dingin. Dila memesan apa ya, gue lupa. Kayaknya sama deh. Harusnya gue udah curiga waktu si abang memarut keju untuk roti gue. Kejunya gila-gilaan banyaknya: mumbung sampe kayak nasi penuh. Melihat itu, bukannya gue curiga harga, eh malah bergumam dalam hati, “Wah, asik banget, banyak kejunya..”

Emang ya otak gue ga kerja kalo perut lagi laper.

Masih belum curiga, disuguhi ovaltine yang nikmat juga, gue malah merasa kebahagiaan gue semakin berjaya. Ini ovaltine emang beda sama bikinan Kantin Biru yang cuma melibatkan satu sendok ovaltine dan susu kental manis alakadarnya.

Ya, begitulah, kami berbahagia (gue doang sih sebenernya; Dila udah dari tadi mengkhawatirkan harga dengan bertanya berkali-kali, “Mba, ini cukup nggak?” tapi gue selalu bilang, “Udah, tenang aja, cukup kok.”). Kami memakan hidangan nikmat itu dengan tanpa rasa khawatir.

HIngga akhirnya selesailah makanan dan percakapan kami. Gue dengan pedenya bertanya. “Berapa Mas?”

Ini gue murni lupa harganya “Delapan belas ribu.” (ato enam belas ribu yah?”) Gue pikir itu berdua dong. Ternyataaaaaa… si Mas melanjutkan, “Jadinya tiga puluh enam ribu.”

“Ha? Berapa Mas? Coba itung lagi.”

“Ini, ovaltine dua, jadinya dua belas ribu, roti bakar coklat kejunya satunya dua belas ribu. Jadi dua puluh empat, semuanya tiga puluh enam ribu.”

Gue bengong. Lalu melempar pandangan pada DIla.

Lalu.. Tet Teret Tereeeeeettt… Naik panggunglah seorang pahlawan penyelamat bernama Ade, yang mungkin sedari tadi sudah mengamati kebodohan gue.

“Udah, ini aja.” Dia mengeluarkan selembar lima puluh ribuan. “Mas, ini semuanya.”

Total empat puluh sembilan ribu. Waks! Bahkan spending Ade jauh lebih sedikit dari spending gue. Aaaaaaaaaaaaarrrrghhh.. Maluuuuuuuuu…

Baru pada saat itu gue menyadari, bodoh banget ya gue, bisa-bisanya menyamaratakan harga Kutek dengan harga di tempat lain? Kutek gitu, harga mahasiswa.. Memperbandingkan Kutek dengan sesuatu pun sebenarnya sudah salah, apalagi seperti yang gue lakukan: menjadikan harga Kutek harga standar. Salah total.. Kebodohan yang sempurna..

Dan setelah itu, Ade memberikan gue sandal pula, oleh-oleh dari Bandung (rupanya ini yang sedari tadi ingin dia sampaikan).. Wadezig banget deh gue.. Whoooaaaaa.. Aku maluuuu..

Yaaah semoga pengalaman ini bisa diambil hikmahnya bagi teman2 semua. Bertanyalah dulu.. Ataua paling tidak, berpikir dahulu baru bertindak hahahaha…